Melihat Pembelajaran Sejarah di Jerman (2): Kunjungan ke Holbein Gymnasium Augsburg
Jum’at, 9 Nopember 2012
Jum’at, 9 Nopember 2012
Augsburg, Bayern – Jerman
Bagaimana siswa di Jerman belajar? Apakah pelajaran sejarah juga dianggap momok disana? Apa saja kebiasaan unik siswa Jerman saat belajar di Sekolah?
Dalam dua belas hari kunjungan studi yang diberikan DAAD, kami berkesempatan mengunjungi salah satu sekolah menengah di kota Augsburg wilayah bagian Bayern, Jerman. Dalam kesempatan itu, kami mengujungi Holbein-Gymnasium Augsburg dan bertemu dengan dua orang guru sejarah yaitu Mr Peter Lengle dan Ms Angela Hoefer, masing-masing mengajar dikelas XII dan VII.
Sekilas Sistem Pendidikan di Jerman
Berbeda dengan Indonesia, sistem pendidikan sekolah di Jerman hanya terbagi menjadi dua, yaitu Sekolah Dasar dan Sekolah Menengah. Sebelum memasuki pendidikan di sekolah dasar, anak-anak di Jerman akan dipersiapkan terlebih dahulu melalui pendidikan di Kindergarten atau Taman Kanak-Kanak selama tiga tahun sejak usia 3 hingga 6 tahun. Selanjutnya mereka akan masuk ke Sekolah Dasar atau Grundschule yang ditempuh sejak anak berusia 7-10 tahun dengan menempuh pendidikan selama 4 tahun. Sebelum melanjutkan ke sekolah menengah, siswa harus melalui tahapan Orientasi (Orienterungsstufe). Masa Orientasi tersebut merupakan saat dimana sekolah membantu siswa untuk menentukan tujuan seorang anak selanjutnya khususnya saat memilih jenis sekolah menengah yang mereka inginkan. Berbeda dengan di Indonesia, masa orientasi justru lebih cenderung dijadikan ajang perploncoan.
Sekolah Menengah di Jerman terdiri dari empat pilihan yaitu Hauptschule, Realschule, Gesamtschule dan Gymnasium. Masing-masing jenis sekolah memiliki perbedaan satu sama lain. Untuk Hauptschule dan Realschule misalnya, sekolah tersebut lebih ditekankan kepada anak yang ingin langsung kerja bila telah menyelesaikan sekolah. Lama waktu pendidikan adalah 5-6 tahun terhitung setelah menyelesaikan pendidikan di sekolah dasar. Selanjutnya mereka akan praktek dan bekerja selama beberapa tahun setelah sebelumnya menyelesaikan pendidikan di “Berufsfachschule” atau “Fachoberschule”. Sedangkan Gymnasium, lama pendidikan adalah 9 tahun. Gymnasium banyak dipilih bagi mereka yang ingin langsung melanjutkan ke Universitas. Bagi siswa yang memilih selain Gymnasium juga dapat melajutkan kuliah di universitas, tetapi harus melalui jalan yang lebih panjang karena harus melakukan praktek kerja terlebih dahulu selama sekian tahun.
Bangunan Peninggalan Masa Abad Pertengahan
Holbein-Gymnasium Augsburg terletak di jalan Hallstraße 10, tepat dipusat kota Augsburg. Sekolah Holbein-Gymnasium Augsburg merupakan sekolah yang berfokus pada bidang ilmiah-teknologi dan linguistik serta merupakan salah satu sekolah terbesar dari sepuluh sekolah di Augsburg. Lebih kurang sebanyak 1200 siswa belajar disana dengan 115 guru pengajar. Sekolah yang dibangun sejak masa Abad Pertengahan tersebut memiliki bangunan yang menyerupai gereja-gereja pada masa Abad Pertengahan. Berawal tahun 1251 dari komunitas biarawati St. Catherina dari Ordo Dominikan yang diberikan sebidang tanah oleh Raja Konrad IV tepat di lokasi saat ini Holbein Gymnasium Augsburg berdiri saat ini. Sejak masa Abad Pertengahan banyak putri-putri bangsawan yang belajar di tempat St. Chatherina. Bangunan biara kemudian direnovasi dan dirancang ulang dengan dibangun gedung kedua oleh Burkhard Engelberg tahun 1498 – 1503. Pada bangunan kedua terdapat enam lukisan cat bergaya Basilika yang masih bisa dilihat didalam sebuah ruangan disekolah tersebut. Seiring sekularisasi yang terjadi di Augsburg, biara St. Catherina dinaturalisasikan dan dijadikan sekolah perdagangan tahun 1833 dan pada tahun 1877 diubah menjadi sekolah tinggi. Nama sekolah Holbein-Gymnasium Augsburg mirip dengan nama Hans Holbein der Ältere (1465 - 1524), seorang pelukis terkenal pada masa antara Abad Pertengahan akhir dan Renaissance. Lukisan cat hasil karyanya bahkan tergambar jelas di salah satu ruang kelas sekolah tinggi tersebut.
Ada banyak jurusan yang dipelajari di Holbein-Gymnasium Augsburg, diantaranya Pendidikan Agama, Bahasa Jerman, Latin, Inggris, Perancis, Spanyol, Cina, Matematika, Ilmu Komputer, Fisika, Kimia, Biologi, Ilmu Pengetahuan Alam dan Teknologi, Sejarah, Geografi, Studi Sosial dan Politik, Ekonomi dan Hukum, Musik, Pendidikan Jasmani, Politik dan Sejarah Kontemporer, serta Studi Lingkungan Hidup. Sebagai salah satu sekolah terbaik, Holbein-Gymnasium Augsburg memiliki beberapa alumni siswanya yang menjadi tokoh terkenal. Diantaranya Rudolf Diesl (1858-1913) yang merupakan penemu dari mesin diesel, Johann Deisenhofer pemenang penghargaan Nobel untuk Kimia tahun 1988, selain itu juga banyak anggota bangsawan yang belajar disekolah tersebut.
Indonesia Near Egypt !
Selama mengunjungi Holbein-Gymnasium Augsburg kami berkesempatan melihat proses pembelajaran di dua kelas sejarah yang ada disana. Kami berkesempatan mengikuti kelas sejarah yang diajarkan Mr Peter Lengle dan Ms Angela Hoefer. Kelas pertama yang kami ikuti adalah kelas Mr Peter Lengle. Ia adalah seorang guru sejarah senior yang mengajar dikelas XII dan sudah lebih dari dua puluh tahun ia mengajar disekolah tersebut.Saat memasuki kelas XII yang diajar oleh Mr Lengle, suasana kelas tidak terlalu penuh. Tidak ada fasilitas mewah, hanya satu buah proyektor dan papan tulis kapur yang terbagi tiga. Siswa disana tidak menggunakan seragam layaknya di Indonesia. Karena saat itu sedang musim gugur mereka menggunakan jaket dan sweater hangat. Para siswi perempuan nampak lebih dewasa dengan riasan minimalis mereka. Begitu juga dengan siswa laki-laki yang umumnya memiliki postur tegap dan tinggi. Mereka terlihat bukan seperti anak SMA. Uniknya, hampir semua siswa selalu membawa tempat minum yang umumnya berukuran besar sekitar 1,5 liter.
Mr Lengle membuka pelajaran dengan mengulang materi pelajaran sejarah pertempuan sebelumnya. Ia mencoba berdialog dengan siswa tentang materi Abad Pertengahan yang menjadi salah satu materi sejarah di kelas XII. Suasana kelas cukup aktif, para siswa tidak segan menunjuk tangan untuk menjawab pertanyaan dari Mr Lengle atau sekedar mengajukan pertanyaan jika ada materi yang mereka tidak mengerti. Budaya aktif dikelas seperti ini yang sepertinya perlu ditumbuhkan di Indonesia.Memasuki kelas kedua yang diajar oleh Ms Angela Hoefer, kami masuk di kelas VII. Berbeda dengan kelas sebelumnya, suasana kelas lebih ramai dengan jumlah siswa yang lebih banyak. Layaknya kelas SMP, suasana dikelas lebih ramai dengan celotehan khas anak-anak ABG. Ms. Angela perlu waktu sepuluh menit sebelum kelas benar-benar bisa kondusif. Meski selama pembelajaran ia cukup kerepotan menghadapi para siswanya, tetapi berkat kemampuan Ms Angela mengelola kelas ia berhasil membuat kelas sejarahnya hidup dan aktif. Seperti dikelas sebelumnya, fasilitas yang disediakan tidak jauh berbeda. Satu buah proyektor dan papan tulis kapur yang terbagi menjadi tiga. Ms. Angela saat itu mencoba menjelaskan kondisi masyarakat Eropa pada masa Abad Pertengahan. Ia menampilkan melalui proyektor kedudukan paus, raja, bangsawan, dan rakyat jelata sebagai bagian dari masyarakat Eropa abad pertengahan. Hal tersebut cukup efektif membuat siswa antuasias mengikuti pelajaran sejarah yang diajarnya.
Setelah kurang lebih empat puluh lima menit, waktunya untuk istirahat. Para murid yang sedari tadi menyadari keberadaan kami didalam kelas nampak malu-malu memperhatikan kami yang berpenampilan berbeda dengan mereka. Kamipun mencoba berinteraksi dengan mereka dan menanyakan beberapa hal. Salah satunya adalah ketika kami menanyakan apakah mereka tahu dimana letak Indonesia. Secara spontan seorang murid laki-laki dari kelas tersebut menjawab : ” Indonesia near Egypt!”. Sontan hal tersebut membuat kami tertawa, sambil mencoba menjelaskan dimana letak Indonesia. Uniknya, para siswa disana sangat mengenal Gangnam Style, lagu yang dinyanyikan oleh Psy artis Korea Selatan itu ternyata juga sangat terkenal disana. Tidak hanya lagu, smartphone yang banyak kami temui digunakan disana justru berlabel merk terkenal dari negeri gingseng tersebut.Sebelum menyudahi kunjungan kami ke Holbein-Gymnasium Augsburg, Mr Peter Lengle mengajak kami untuk minum teh di ruang guru. Berbagai minuman mulai dari teh, kopi, minuman ringan, serta berbagai cemilan kecil tersedia disana. Tetapi itu tidak gratis, mereka harus membayar di kotak yang telah disediakan seperti warung kejujuran tapi ini mungkin lebih tepat kotak kejujuran. Jangan berharap ada Office Boy atau orang yang bisa disuruh untuk membuatkan minuman atau mengambilkan makanan serta membereskan tempat makan atau minum, karena disini semuanya dilakukan sendiri oleh guru. Mendekati jam makan siang, kami mengakhiri kunjungan di Holbein-Gymnasium Augsburg. Sebelum itu kami sempat berfoto bersama dengan Mr Peter Lengle di depan gerbang sekolah. Sungguh pengalaman yang sangat berharga dapat melihat langsung pembelajaran di sekolah Jerman. Meski fasilitas yang tersedia tidak berbeda jauh dari sekolah-sekolah kota di Indonesia, tetapi semangat untuk belajar dan aktif dikelas dari para siswa disana sepertinya harus bisa kita tumbuhkan juga di Indonesia
No comments:
Post a Comment